- Back to Home »
- Pengajian Ahad : Jabatan Perspektif Kitab Al-Hikam
Posted by : Unknown
Minggu, 04 Mei 2014
Malang- Di Indonesia, sedang musimnya orang mencari
jabatan. Baru-baru ini telah berlangsung pemilihan calon legislatif, sebentar
lagi akan ada pemilihan presiden. Terkait dengan jabatan, kitab Al-Hikam Ibnu
Athaillah memiliki tiga pandangan. Pertama, dilihat dari segi hakikat. Kedua,
segi syariat dan ketiga segi politik. “Hal ini menjadi persoalan yang penting
agar kita memahami batasan syariat yang sesungguhnya, mengenai bagaimana
mencari, mengemban, dan menggunakan jabatan,” kata KH. A. Hasyim Muzadi dalam
Pengajian Kitab Al-Hikam pada Ahad (05/05) pagi di Masjid Al-Ghazali Pesantren
Mahasiswa Al-Hikam Malang.
Kiai Hasyim menerangkan, dalam Kitab Al-Hikam disebutkan,
apabila kamu tidak ingin tergeser maka jangan memangku jabatan yang tidak
mungkin abadi. Makna secara sederhana bahwa tidak ada jabatan yang abadi di
dunia ini. Lalu harus bagaimana ? Menurut Kiai Hasyim, jika kamu berani
memangku jabatan maka kamu harus berani berhenti dari jabatan itu. Jika takut
berhenti dari jabatan, maka tidak perlu menjabat. Hakikatnya, jabatan itu tidak
ada yang abadi. Berbeda dengan derajat. Derajat itu pemberian Allah berdasarkan
amal seorang hamba. Derajat mulia tumbuh dari amaliah shaleh yang diberikan
allah kemudian menjadi maqaman mahmuda atau makam yang terhormat.
Secara syariat, kata Kiai Hasyim, jika jabatan itu
digunakan untuk kepentingan syariat maka kemanfaatannya akan luar biasa. Tetapi
penyakitnya adalah apakah dia untuk rakyatnya atau rakyatnya saja yang disuruh
memilih. Dalam keterangan Kiai Hasyim, untuk menyempurnakan jabatan secara
syariat agar bisa bermanfaat, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat; 1)
Shidiq. Yaitu jujur dalam hal apapun. Semisal jujur dalam memilih uang
Negara atau uang pribadi. 2) Amanah.
Yaitu seseorang yangdiangkat menjadi presiden, menteri atau DPR itu diminta apa
oleh masyarakat dan dia harus memenuhinya. Kalau dia melakukan dengan semestinya,
maka ia memenuhi amanahnya; 3) Tabligh, yaitu menyampaikan gagasan
semisal jika ia memimpin, rakyat akan dibawa kemana; 4) Fathonah, dalam
arti ia mengerti tugas yang ia emban.
Apabila jabatan dilihat dari politik maka politik
itu adalah pekerjaan mulia jika dilakukan oleh orang yang mulia. Abah Hasyim bercerita
flashback mengenai keadaan politik pada tahun 1977. Saat itu tokoh
politik sangat terhormat. Semisal, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan
mengadakan kampanye, maka seluruh rumah ingin menjadi tempat kampanye karena
masyarakat merasa bangga dengan perjuangan PPP. “Politisi saat itu dianggap
sebagai penyelamat agama dan Negara. Berbeda dengan sekarang yang total
berubah,” ucap Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang dan Depok ini. Lanjutnya,
politisi saat ini tidak akan didengarkan bicaranya jika masyarakat tidak diberi
bayaran dulu. Berbeda dengan acara pengajian atau istigotsahan, masyarakat tak
perlu dibayar, sudah banyak yang datang. Hal ini memberikan makna, bahwa Allah
masih membedakan perkara haq dan bathil. “Mudah-mudahan, kita senantiasa dalam
posisi yang benar (haq) dan diberikan keselamatan oleh Allah Swt,” pesan mantan
ketum PBNU ini di akhir pengajian. (zul)
Tulisan ini juga dimuat di website NU Pusat. (www.nu.or.id)
Suasana Pengajian Ahad Setiap Awal Bulan pada Ahad (05/05) di Masjid Al-Ghazali :
![]() |
ANTUSIAS : Para Santri Al-Hikam menyimak tausiah Abah Hasyim Muzadi |
![]() |
SERIUS : Para Jamaah Alumni Haji Al-Hikam sedang mendengarkan pengajian Abah Hasyim Muzadi |